Selasa, 11 Mei 2010

Canggal sebagai Tonggak Mataram

Kerajaan Matarām kita kenal dari sebuah prasasti yang ditemukan di Desa Canggal (barat daya Magelang). Prasasti ini berangka tahun 732 M, ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Çiwa) di atas sebuah bukit di daerah Kuŋjarakuŋja oleh Raja Saŋjaya. Daerah ini letaknya di sebuah pulau yang mulia, Yāwadwîpa, yang kaya raya akan hasil bumi, terutama padi dan emas.

Peta Indonesia dan Jawa Tengah

Yāwadwîpa ini mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, yang lama sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Setelah Raja Sanna wafat, pecahlah negaranya, kebingungan karena kehilangan perlindungan. Naiklah ke atas tahta kerajaan, Raja Saňjaya, anak Sannāhā (saudara perempuan Sanna), seorang raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan dalam keprajuritan. Ia menaklukkan berbagai daerah di sekitar kerajaannya dan menciptakan ketentraman serta kemakmuran yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.

Sanna dan Saňjaya terkenal pula dari Carita Parahyangan, sebuah kitab dari zaman kemudian sekali yang terutama menguraikan sejarah Pasundan. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Sanna dikalahkan oleh Purbasora dari Galuh dan menyingkir ke Gunung Merapi. Tetapi, penggantinya, Saňjaya, kemudian menaklukkan Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur serta Bali. Pun Malayu dan Keling (dengan rajanya Sang Çriwijaya) diperanginya. Dalam garis besarnya, cerita ini sesuai juga dengan Prasasti Canggal.

Mendirikan sebuah lingga secara khusus adalah lambang mendirikan suatu kerajaan. Bahwa Sanjaya memang dianggap sebagai Wamçakarta dari Kerajaan Matarām, dinyatakan juga dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya. Di antara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang memuat silsilah, dan yang menjadi pangkal silsilah itu adalah Raka i Matarām Sang ratu Saňjaya. Bahkan ada pula prasasti-prasasti yang menggunakan tarikh Saňjaya! Dari kedua kenyataan ini dapatlah jelas betapa besarnya arti Saňjaya itu bagi raja-raja yang kerajaannya berpusat di Jawa Tengah sampai abad X M.

Adapun lingga yang didirikan oleh Saňjaya itu tempatnya ialah di Gunung Wukir di Desa Canggal. Di sini terdapat sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3 candi perwara di depannya. Di dalam candi induk ini

tidak terdapatkan lingganya, yang ada ialah sebuah yoni besar sekali dan umumnya yoni itu merupakan landasan bagi sebuah lingga. Di halaman candi inilah Prasasti Canggal itu ditemukan.

Candi Gunung Wukir pada 1938

Candi Gunung Wukir pada 1938 (2)

Sayang sekali bahwa Candi Gunung Wukir ini yang masih tersisa sangat terlalu sedikit, sehingga tidak dapat diketahui bagaimana bentuk dan wujud yang sebenarnya dari hasil seni bangunan yang tertua itu.

Saňjayawamça dan Çailendrawamça

Kecuali Prasasti Canggal, tidak ada lagi prasasti lain dari Saňjaya. Pun dari keturunannya, sampai pertengahan abad IX M, tidak ada. Yang terdapat sesudah Saňjaya itu adalah prasasti-prasasti dari keluarga raja lain, yaitu Çailendrawamça. Rupa-rupanya keluarga Saňjaya itu terdesak oleh para Çailendra, tetapi masih juga mempunyai kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Bagaimana jalannya pergeseran kekuasaan itu tidak diketahui. Hanyalah nyata bahwa antara keluarga Saňjaya dan keluarga Çailendra ada kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu. Hal ini pertama kali nyata dari prasasti Kalasan.

Candi Kalasan, 1926/1929

Prasasti ini ditulis dengan huruf pra-nagari dalam bahasa Sanskrta dan berangka tahun 778 M. Isinya adalah bahwa para Guru sang raja “mustika keluarga Cailendra” (Çailendrawamçatilaka) telah berhasil membujuk Maharaja Tejahpūrņapaņa Paņangkaraņa (di tempat lain dalam prasasti ini disebut Kariyaņa Paņangkaraņa) untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tārā dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan keluarga Çailendra. Kemudian Paņangkaraņa itu menghadiahkan desa Kalāça kepada sanggha.

Bangunan yang didirikan ini adalah Candi Kalasan di Desa Kalasan di sebelah timur Yogyakarta. Candi ini sekarang kosong, tetapi memiliki singgasana serta bilik, sehingga arca Tārā yang dahulu bertahta

di sini tentunya besar sekali, dan sangat mungkin terbuat dari perunggu.

Tejahpūrņa Paņangkaraņa (diduga kuat) adalah Rakai Panangkaran, pengganti Saňjaya; seperti nyata dari prasasti Raja Balitung dari tahun 907 M. Prasasti ini bahkan memuat daftar lengkap dari raja-raja yang mendahului Balitung; bunyinya sebagai berikut: “rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu, rakai matarām sang ratu Saňjaya, çrî mahārāja rakai Panangkaran, çrî mahārāja rakai Panunggalan, çri mahārāja rakai Warak, crî mahārāja rakai Garung, çrî mahārāja rakai Pikatan, çrî mahārāja rakai Kayuwangi, çri mahārāja rakai Watuhumalang”, dan kemudian nama raja yang memerintahkan pembuatan prasasti, yaitu çrî mahārāja rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahāçāmbhu.

Jelaslah bahwa pemerintahan Saňjayawamça berlangsung terus di samping pemerintahan Çailendrawamça. Keluarga Saňjaya beragama Hindu memuja Çiwa dan keluarga Çailendra beragama Buddha aliran Mahayana yang sudah condong ke Tantrayana. Menilik kenyataan bahwa candi-candi dari abad VIII dan IX M yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, sedangkan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha maka daerah kekuasaan keluarga Saňjaya (

diduga kuat) ialah bagian utara Jawa Tengah dan daerah Çailendra adalah bagian selatan Jawa Tengah.

Pada pertengahan abad IX M, kedua wamca itu bersatu dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, raja puteri dari keluarga Cailendra. Demikianlah maka dapat dikatakan bahwa keluarga Cailendra itu memegang kekuasaan di Jawa Tengah selama kira-kira satu abad (± 750 – 850 M). Dalam masa pemerintahan ini banyak sekali bangunan suci yang didirikan untuk memuliakan agama Buddha. Sudah kita kenal Candi Kalasan untuk memuliakan Dewi Tara, menurut Prasasti Kalaca tahun 778 M. D

ari tahun 782 M ada prasasti lagi dari Kelurak (Prambanan) yang ditulis dengan huruf pra-nagari pula dan berbahasa Sanskrta. Isinya ialah mengenai pembuatan arca Manjucri yang dalam dirinya mengandung Triratna (Buddha, Dharma, dan Sanggha); yang sama pula (maknanya) dengan Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Mahecwara/Ciwa). Tampak benar sifat Tantrayana! Rajanya adalah Indra yang mungkin sekali bergelar Cri Sanggramadananjaya. Tidak ada kepastian bangunan suci mana yang didirikan untuk Manjucri itu; mungkin sekali sebuah candi Ciwa tidak jauh di sebelah utara Prambanan.

Salah seorang pengganti Indra adalah Samaratungga. Dalam tahun 824 M (Prasasti Karangtengah, dekat Temanggung) ia mendirikan bangunan suci Wenuwana; mungkin sekali Candi Ngawen di sebelah barat Muntilan. Tanah untuk bangunan suci dan sekitarnya dibebaskan dari pajak (menjadi perdikan) agar dengan demikian penghasilannya dapat diperuntukkan bagi pemeliharaan bangunan suci itu tadi. Janggalnya, sebagaimana di Kalasan, pemberian tanah itu dilakukan oleh seorang raja dari keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai Garung.

Samaratungga digantikan oleh anak perempuannya, Pramodawardhani, yang kawin dengan raja keluarga Sanjaya, Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Merteka berdua banyak pula mendirikan bangunan suci. Pramodhawardhani, yang kemudian bergelar Cri Kahulunnan, mendirikan bangunan-bangunan Buddha, dan Pikatan mendirikan bangunan-bangunan Hindu. Di Candi Plaosan yang bersifat Buddha banyak didapatkan pertulisan-pertulisan pendek, di antaranya nama-nama Cri Kahulunnan dan Rakai Pikatan. Sangatlah mungkin bahwa kelompok Candi Plaosan itu didirikan atas nama dan perintah Pramodawardhani itulah. Dalam dua buah prasasti dari tahun 842 M, Cri Kahulunnan meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk menjamin berlangsungnya pemeliharaan Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan nenek moyang) di Bhumisambhara. Kamulan ini tidaklah lain daripada Borobudur, yang mungkin sekali sudah didirikan oleh Samaratungga dalam tahun 824 M. Hal ini dapat disimpulkan dari penyebutan bangunan Kamulan itu secara samar-samar dengan istilah keagamaan, dalam Prasasti Karangtengah.

Rakai Pikatan sendiri telah pula mendirikan berbagai bangunan suci agama Hindu. Mungkin sekali kelompok Loro Jonggrang di Prambanan berdirinya atas usahanya. Dalam sebuah prasasti dari tahun 856 M yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala atau rakai Kayuwangi, segera setelah rakai Pikatan turun tahta, terdapat uraian tentang kelompok candi agama Ciwa yang sesuai benar dengan keadaan kelompok Candi Loro Jonggrang atau Prambanan. Pun dalam kitab Ramayana, yang diperkirakan dihimpun dalam abad IX M, ada uraian serupa. Dan nama Pikatan memang terpahatkan juga, tergores dengan cat, pada salah satu candi di kelompok tersebut.

Balaputra Raja Criwijaya

Sebuah prasasti dari Nalanda (India), yang berasal dari tahun ± 860 M, menyebutkan hadiah tanah oleh Dewapaladewa (Raja Pala di Benggala) untuk keperluan sebuah biara yang didirikan oleh seorang maharaja di Suwarnadwipa bernama Balaputra. Dinyatakan pula bahwa Balaputra adalah anak dari Samaragrawira dan cucu dari raja Jawa yang menjadi “mustika keluarga Cailendra” bernama Cri Wirawairimathana.

Wirawairimathana adalah gelar yang serupa dengan gelar Raja Dharanindra dari Prasasti Kelurak, sedangkan Samaragrawira artinya sama dengan Samaratungga. Demikianlah maka Balaputra (diduga kuat) adalah adik Pramodawardhani, hanya dari lain ibu.

Dalam tahun 856 M, Balaputra berusaha merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, tetapi gagal. Ia lalu melarikan diri ke Suwarnadwipa dan di sana ia berhasil menaiki tahta Criwijaya. Rupanya tiada bedanya dengan Mataram zaman Panangkaran, Criwijaya juga telah terdesak oleh raja-raja Cailendra dan kmeudian berlangsung terus sebagai negara bagian. Dengan demikian maka Balaputra memang mempunyai hak juga atas tahta Criwijaya. Penjelasan silsialahnya pada Prasasti Nalanda tentunya dimaksudkan sebagai pengesahan tindakannya untuk melangsungkan kekuasaan kelaurga Cailendra, baik di Criwijaya maupun di Jawa Tengah, tempat kini kekuasaan telah beralih ke tangan keluarga Sanjaya.

Soal agama dipakai juga oleh Balaputra untuk memperkuat kedudukannya di Criwijaya dalam menghadapi Mataram yang beragama Ciwa. Maka segera setelah ia berkuasa, ia mencari persahabatan dengan kerajaan agama Buddha yang kuat. Kerajaan ini ia dapati di India, tempat keluarga Raja Pala berkuasa di Benggala. Inilah sebabnya mengapa ia mengusahakan adanya sebuah biara di Nalanda, yang diperuntukkan bagi para jemaah agama Buddha dari Criwijaya.

Keluarga Sanjaya Berkuasa Penuh Lagi

Dalam tahun 856 M, Rakai Pikatan turun tahta, setelah berhasil menghapus kekuasaan keluarga Cailendra di Jawa. Pun kemungkinan timbulnya kembali keluarga ini telah ia cegah, yaitu dengan menggempur Balaputra; yang dari prasasti tahun 856 itu dapat disimpulkan bertahan di bukit Ratu Boko.

Penggantinya, Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi, ternyata menghadapi berbagai kesulitan yang dialami oleh rakyat Mataram. Kekuasaan Cailendra di jawa Tengah selama tiga perempat abad banyak menghasilkan bangunan suci yang serba megah dan mewah, tetapi sebaliknya sangat melemahkan tenaga rakyat dan penghasilan pertanian. Usaha mengutamakan kebesaran raja kini terasa akibatknya yang menekan penghidupan rakyat.

RakaiKayuwangi memerintah dari 856 sampai 886M, dan dalam prasasti-prasastinya ia menggunakan sebuatan Cri Maharaja dan gelar abhiseka (penobatan raja) Cri Sajjanotsawatungga. Sebutan pertama menunjukkan kebesaran sang raja yang kini menjadi penguasa satu-satunya. Sementara, akhiran “tungga” (= puncak, ujung) dalam nama abhisekanya _ kebiasaan yang hanya dipakai oleh raja Cailendra _ menunjukkan bahwa sang raja berdarah Cailendra pula.Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang yang memerintah dari tahun 886 – 898 M.

Kemudian menyusullah Raja Balitung (Rakai Watukura) yang bergelarCri Icwarakecawotsawatungga, yang memerintah dari tahun 898 sampai 910 M. Prasasti-prasastinya terdapatkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga dapat disimpulkan ia adalah raja yang pertama yang memerintah kedua bagian pulau Jawa itu. Mungkin sekali kerajaan di Jawa Timur (Kanjuruhan _ Prasasti Dinoyo) telah ia taklukkan, mengingat bahwa di dalam pemerintahan Jawa tengah ada sebuatan Rakaryan Kanuruhan, yaitu salah satu jabatan tinggi langsung di bawah raja. Memang prasasti-prasasti Balitung dari tahun 898 sampai 907 M semuanya didapatkan di Jawa timur, dan salah satu di antaranya menyebutkan serangan ke Bantan (= Bali).

Salah satu prasastinya yang menarik perhatian adalah yang ia keluarkan dalam tahun 907, yait yang memuat silsilahnya sejak Sanjaya. Sementara, mereka-mereka yang memerintah terlebih dahulu itu ia mintai perlindungan.

Raja-raja sesudah Balitung adalah Daksa, yang dalam pemerintahan Balitung telah menjabat Rakryan Mahamantri i Hino (kedudukan tertinggi di bawah raja), dan menjadi raja da

ri 910 hingga 919 M. Lalu, Tulodong dengan gelarnya Rakai Layang Dyah Tulodong Cri Sajanasanmatanuragatunggadewa, dari tahun 919 – 924 M. Kemudian Wawa, dengan gelar Cri Wijayalokanamottungga, dari tahun 924-929 M.

Sejak tahun 929 M, prasasti hanya didapatkan di Jawa Timur dan yang memerintah adalah seorang raja dari keluarga lain, yaitu Siņdok dari Içanawamça. Dengan ini maka habislah riwayat Saňjayawamça, dan juga Jawa Tengah sebagai pusat pemerintahan. Mungkin sekali perpindahan kekuasaan dari keluarga Saňjaya kepada keluarga Içana berlangsung secara damai (perkawinan), tetapi apa sebabnya pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa timur tidak dapat diketahui. Ada pendapat bahwa hal ini terjadi karena ancaman-ancaman dari Çriwijaya atau bencana dahsyat.

sumber :Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Hlm. 39 – 49.

Adapun dimungkinkan jaman mataram kuno telah tatanan kehidupan masyarakat sudah sangat maju dan pesat, hal ini dibuktikan dengan peninggalan candi-candi yang tersebar luas dari wilayah jawa tengah -jogja-jawa timur sehingga memungkinkan perpindahan ibukota kerajaan sampai 7

kali :

  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)" sekitar jogja-muntilan-sleman"
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) " sekitar prambanan"
  • Medang i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung) " Kedu-temanggung"
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)" sekitar jogja-muntilan-sleman"
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)' Antara magetan-mediun"
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)"sekitar jombang"
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
beberapa peninggalan jaman mataram kuno dan sampai sekarang masih berfungsi dan terpelihara adalah candi umbul (Grabag-Magelang) cukup dekat dengan wilayah ibukota ke tiga yaitu poh pitu :

Candi umbul tersebut berada di lembah yang subur dikawasan persawahan di desa Kertoharjo dan airnya masih mengalir dengan jernih. Bahkan akhir tahun 2009 ditemukan pula candi yang dimungkinkan adalah kawasan pemukiman yang dibuktikan dengan ditemukan kayu dan fosil padi dikawasan kedu. Yang masih menyisakan misteri sampai sekarang adalah lokasi Ibukota kerajaan mataram yang bernama Bhumi Mataram kota yang pada masanya amat terkenal sebagai sumber padi dan emas. Tanah yang kaya raya yang terpendam 6-10 meter material vulkanik, sesuatu yang mengundang decak kagum dan penasaran bagi siapapun yang dapat mengetahuinya.

Senin, 26 April 2010

Aksara Kuno(Palawa)

Aksara Pallawa Nusantara

Aksara Pallawa atau kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang berasal dari India bagian selatan. Aksara ini sangat penting untuk sejarah di Indonesia karena aksara ini merupakan aksara dari mana aksara-aksara Nusantara diturunkan.

Di Nusantara bukti terawal adalah Prasasti Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Bukti tulisan terawal yang ada di di Jawa Barat dan sekaligus pulau Jawa, yaitu Prasasti Tarumanagara yang berasal dari pertengahan abad ke-5, juga ditulis menggunakan aksara Pallawa.

Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India antara abad ke-4 sampai abad ke-9 Masehi. Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme
Gambar Aksara Palawa ada di Nusantara
* Aksara Bugis Lontara Lontara Abugida
* Aksara Jawa
Aksara Bali
Bali-simbar
* Aksara Sunda Kaganga
Aksara Rejang
Aksara Rencong
Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara-Aksara Nusantara
Perubahan Aksara Pallawa
Sumber : Wikipedia

Jumat, 23 April 2010

Kamis, 22 April 2010

Kerajaan Medang (Dinasti Mataran Kuno)

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut KerajaanMataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak HinduBuddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.

Nama

Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timurperiode Jawa Tengah. saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode jawa tengah

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa TengahKerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Prasasti Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan di daerah Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19. Raffles sendiri memperolehnya sebagai hadiah dari Kolonel Colin Mackenzie, yang mengambilnya setelah melihat batu bertulis ini.

Prasasti bertinggi 2 meter dengan

bobot 3,8 ton ini dianggap penting karena menyebut raja Medang, yang berpusat di Jawa Tengah, sebagai penguasa daerah Malang, di Jawa Timur, meskipun angka tahunnya tidak bersepakat dengan prasasti lainnya. Isinya dianggap dapat membantu memecahkan misteri pindahnya pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke wilayah timur Pulau Jawa.

Setelah berpuluh-puluh tahun berada di tangan pewaris keluarga Lord Minto di Roxburghshire, Skotlandia, benda bersejarah ini akan dikembalikan ke Indonesia dan disimpan di Museum Nasional. Proses negosiasi pemindahan ini telah dilakukan Pemerintah Indonesia sejak 2004 dan kemudian dibantu oleh Hashim Djojohadikusumo, seorang pengusaha nasional

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,

  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
  • Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
  • Medang i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung)
  • Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
  • Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
  • Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan

prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau JawaSanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna. sebelum dirinya.

Prasasti Canggal adalah prasasti dalam bentuk candrasangkala berangka tahun 732 yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti yang ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja SanjayaKerajaan Mataram Kuno). Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula SannaSannaha, saudara perempuan Sanna.

Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang. Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden WijayaKerajaan Majapahit akhir abad ke-13) yang mengaku sebagai penerus takhta Kertanagara raja Singhasari, namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda. (pendiri

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.

Dinasti yang berkuasa

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja

pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang

versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik denganBhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang

Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:

1.Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
(Karya Candi Canggal / Penganut Hindu Syiwa)
2.Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
(Membangun Candi Borobudur,sebagai penganut budha mahaya" dinasti berpindah agama dari leluhurnya yang hindu syiwa")
membangun juga candi Kalasan , sebagai pengormatan leluhur")
3.Rakai Panunggalan alias Dharanindra
Menaklukkan Sriwijaya bahkan sampai ke kamboja dan campa berjuluk Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
4.Rakai Warak alias Samaragrawira
Ayah dari Balaputradewa raja Sriwijaya Wirawairimathana (penumpas musuh perwira)
5.Rakai Garung alias Samaratungga
Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja SriwijayaWangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang
6.Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya (Candi Prambanan)

Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan.

Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.

Menurut prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa.

Berdasarkan ciri-ciri yang digambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut dibangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.

7.Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. (Pusat kerajaan tidak lagi di mataram tapi di mamratipu
8.Rakai Watuhumalang
Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. akhir periode rakai pikatan terjadi perpecahan di Kerajaan Medang akibat perebutan kuasa antara Gurunwangi dan kayuwangi namun sepeninggal kayuwangi Watuhumalang yang menduduki tahta.
9.Rakai Watukura Dyah Balitung

Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watukura.

Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut.

memindahkan pusat pemerintahan kerajaan medang dari mamratipura ke poh-pitu(sekitar kedu)

10.Mpu Daksa
Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti TangTat So Kan Hiung, yang artinya “Daksa, saudara raja yang gagah berani”
11.Rakai Layang Dyah Tulodong
Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.

Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.

Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.

12.Rakai Sumba Dyah Wawa
Dalam prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija.

Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi.Makam Rakryan Landhayan sang pelaku penculikan diberitakan terdapat di tengah hutan. Mungkin ia akhirnya tertangkap oleh tentara Medang dan dibunuh di dalam hutan. Peristiwa tersebut terjadi tahun 880. Mungkin saat itu Dyah Wawa masih kecil. Jadi, Dyah Wawa merupakan sepupu dari Dyah Bhumijaya, putra Rakai Kayuwangi (raja Medang 856–890-an).

Dengan demikian, Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta kerajaan medang dan mengembalikan pusat pemerintahan ke mataram kembali

13.Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.

Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat berbunyi Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.

Menurut teori van Bammelen, istana Medang di Mataram hancur akibat letusan Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik. Tidak diketahui dengan pasti apakah bencana alam ini terjadi pada masa pemerintahan Dyah Wawa ataukah pada pemerintahan Mpu Sindok.

Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turyan, 929). Kemudian istana dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Baik Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah Jombang sekarang.

14.Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.

Peninggalan sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi tentang anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti tiruan yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti prasasti asli yang sudah rusak.

Prasasti atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun. Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris biasanya memohon kepada raja yang sedang berkuasa untuk memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan ini disebut dengan istilah prasasti tinulad.

Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.

15.Makuthawangsawardhana
Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya hanya ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga. Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.

Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.

Dharmawangsa Teguh merupakan raja Kerajaan Medang yang memerintah sejak tahun 991. Airlangga mengaku sebagai anggota keluarganya. Berdasarkan hal itu, para sejarawan pun sepakat bahwa Dharmawangsa adalah saudara dari Mahendradatta, dan keduanya merupakan anak dari Makutawangsawardhana.

Teori yang berkembang ialah, Makutawangsawardhana memerintah sampai tahun 991, dan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmawangsa. Sedangkan putrinya yang bernama Mahendradatta menikah dengan raja Bali bernama Udayana dan kemudian melahirkan Airlangga.

16.Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.

Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Cina.

Utusan Cho-po juga tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan demikian, dari berita Cina tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, namun pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.

Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang Haji Wurawari dari Lwaram dengan bantuan askar-askar Sriwijaya. Istana Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus takhta mertuanya.

Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.

Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan Dharmawangsa.

Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas. Golongan pertama membaca angka tahun berupa kalimat Suryasengkala1010 Masehi, sedangkan golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016. yaitu Locana agni vadane atau tahun

Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.

Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Struktur pemerintahan

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai PikatanWangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu. meskipun

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.

Keadaan penduduk

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah

Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen

Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa TimurGunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu. disebabkan oleh letusan

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya

Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa IsanaMpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok. berkuasa. Sewaktu

Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran JawaBali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak HinduBuddha. maupun

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Kepustakaan

  • Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS