Rabu, 09 Maret 2011

Penemuan keramik dan kaca kuno di Dieng

YOGYAKARTA (SI) – Tim arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menemukan sejumlah pecahan keramik dan kaca kuno di kompleks Candi Dieng,perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Temuan enam mahasiswa akhir Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu menandai sejarah baru dalam dunia arkeologi Indonesia. Penggalian benda bersejarah tersebut menemukan sejumlah pecahan keramik yang diduga buatan zaman Dinasti Tang dari China pada abad kesembilan (IX). ”Sebenarnya kita tengah melakukan pelatihan kepada enam mahasiswa arkeologi di kawasan Candi Dieng, tapi justru menemukan benda-benda kuno ini,” ungkap Ketua Jurusan Arkeologi FIB UGM Prof Inayati Adrisiyani di ruang kerjanya kemarin. Pecahan keramik China dan kaca dari Persia di Dieng itu ditemukan pada 2–11 Juni lalu.

Tim penggalian yang dibimbing oleh dosen sekaligus ketua tim lapangan ekskavasi Dieng, Dr Mahirta, baru pulang ke Yogyakarta Jumat (11/6) malam. Hingga kemarin laboratorium arkeologi FIB UGM terus menganalisis dan mencari tahu usia keramik yang ditemukan. Mahirta menjelaskan, ekskavasi di sekitar kompleks Candi Dieng meliputi tiga lokasi,yakni di dekat tangga masuk Museum Kailasana,di sumur tua,dan di sektor Darmasala.”Dugaan bahwa keramik temuan kita berasal dari abad kesembilan karena mirip dengan keramik-keramik China dari kapal yang karam di perairan Belitung beberapa bulan lalu,” ujarnya.

Sementara satu benda mirip pecahan kaca berwarna biru kehijauan diyakini berasal dari Persia pada abad yang sama.Salah satu dari beberapa temuan itu diyakini merupakan keramik China yang cukup langka bernama Green Splash. Benda tersebut sama seperti yang ditemukan di kapal karam di Teluk Belitung. Sangat dimungkinkan artefak di Dieng itu menjadi temuan tertua sejarah perdagangan antara China-Indonesia dan Persia. Menurut Mahirta, penemuan-penemuan sebelumnya mengenai benda-benda perdagangan kuno masih berkisar pada era zaman Kerajaan Majapahit, yakni abad ke-12 dan ke-13. Penemuan keramik China di Dieng membuktikan bahwa jalur perdagangan antara Indonesia- China dan Persia bukan hanya terjadi di daerah pinggiran pantai, tetapi juga masuk ke pedalaman Nusantara.

Diketahui,posisi Candi Dieng berada di tengah-tengah Pulau Jawa. Menurut Mahirta, hubungan Rata Penuhperdagangan Indonesia-China- Persia pada abad kesembilan dimungkinkan terjadi melalui jalur India, Selat Malaka,Pantai Timur Sumatera, lalu masuk ke Pantai Utara Jawa. Kemudian melalui alur sungai perdagangan masuk ke daerah-daerah pedalaman Pulau Jawa. (moch fauzi:sindo 13 juni 2010)

repost: www.hurahura.wordpress.com

Mata Air Peradaban (peradaban Dieng-Bab I)

Judul: Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo • Penulis: A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR • Penerbit: LKiS, Yogyakarta • Cetakan: I, Agustus 2010 • Tebal: xxvi + 546 halaman • ISBN: 979-25-5331-2

Ikhtiar merumuskan identitas tidak pernah lepas dari ingatan masa silam. Jati diri masyarakat dalam kurun waktu tertentu merupakan hasil dialektika antara tradisi, sejarah, serta tata nilai warisan masa lalu dengan situasi dan problematika kekiniannya. Sejarah menjadi peranti mutlak dalam menggali identitas kultural kebangsaan.

Perbincangan mengenai identitas Nusantara belum rampung. Sebab keremangan sejarah masih berlarut-larut, menimbulkan pelbagai kontroversi dan tafsir yang saling berkontradiksi. Adanya politisasi penulisan sejarah juga masih menjadi momok di dalam mengurai problem identitas ke-indonesia-an mutakhir.

Di tengah ”ketidaktuntasan” sejarah itu, muncul tawaran baru mengenai asal usul peradaban Nusantara. A Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR melacak asal mula masyarakat Jawa yang menjadi entitas peradaban besar di Nusantara dengan memusatkan konsentrasi pada warisan sejarah di Dieng, salah satu dataran tinggi di Jawa Tengah.

Indianisasi

Pelacakan awal mula manusia Jawa di dalam buku berjudul Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo ini didasarkan pada sejarah masuknya bangsa India di Nusantara. Satu hal yang menggugah, setelah sekian lama penelusuran tentang manusia Jawa luput dari pembeberan wacana kolonialisme di Indonesia. Selama ini sejarah kontemporer masih membatasi riwayat penjajahan di Indonesia terbatas pada kolonial Portugis, Belanda, dan Jepang.

Migrasi dan mutasi bangsa India pada abad-abad awal Masehi yang lantas berkembang menjadi arus Indianisasi—internalisasi budaya India—di Jawa dianggap sebagai penjajahan bangsa Arya (India) atas pribumi Jawa (hal 200). Klaim ini didasarkan pada pendapat Arnold Toynbee di dalam bukunya, Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World (1976), yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 dan ke-4 Masehi peradaban India terus melebarkan sayapnya ke luar batas-batas anak benua hingga nyaris menguasai seluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Mengenai persoalan ini, Kholiq dan Sukatno sangat jelas menepis Dennys Lombard yang memandang penjajahan bangsa Arya dengan konotasi klasik dan positif, bahwa migrasi besar-besaran dari orang-orang Keling (India) ke Asia Tenggara, termasuk Jawa, hanya membawa gagasan tentang budaya, agama, perdagangan, dan tidak terjadi penaklukan militer sama sekali. Anggapan Lombard dibantah, sebaliknya semua penjajahan nyaris bersifat memeras dan menindas manusia dan mentalitas pribumi.

Buku ini melakukan tafsir radikal atas mitologi peperangan Ajisaka dengan Dewata Cengkar. Sampai saat ini Ajisaka diyakini sebagai pendatang dari India yang kemudian membuat tonggak sejarah peradaban Jawa dengan kelahiran penanggalan Saka.

Dalam buku ini, justru Ajisaka dikatakan sebagai ”penjajah” yang menyingkirkan Dewata Cengkar, seorang pemimpin masyarakat pribumi Jawa saat itu. Sebagai pihak yang kalah, Dewata Cengkar distigmatisasikan sebagai tokoh yang tidak senonoh, yaitu raksasa jahat yang tergolong jenis jin, setan, atau dedemit. Logika stigmatisasi terhadap pihak yang kalah sangat lazim terjadi di dalam mitologi India, seperti stereotip buruk yang disematkan terhadap Rahwana, yang dikalahkan Rama, sebagai ”buto” atau raksasa yang jahat (hal 228).

Realitas sejarah-politik modern pun sama, menjalankan strategi kuasa dengan memberi stigma-stigma buruk kepada pihak-pihak yang kalah. Kekalahan Dewata Cengkar membuat sebagian masyarakat pribumi menyingkir ke wilayah pedalaman dan goa-goa untuk menyelamatkan diri. Sedangkan penduduk pribumi lainnya berasimilasi dengan Ajisaka (masyarakat pendatang dari India) hingga membentuk ”manusia Jawa baru”.

Poros Nusantara

Dieng adalah kawasan dataran tinggi di bagian tengah Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terbagi menjadi kawasan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Di dataran tinggi Dieng tersebar banyak artefak sejarah yang cukup memadai untuk melacak peradaban Wonosobo, bahkan Nusantara. Sampai kini di Dieng masih berdiri puluhan candi yang disebut sebagai ”Candi Kompleks Dieng”, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Puntadewa, Candi Gatotkaca, Candi Semar, Candi Dwarawati, Candi Sembadra, maupun Candi Srikandi. Juga berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Telaga Tanjung, Prasasti Gunung Wule, Prasasti Canggal, dan Prasasti Kedu.

Candi dan prasasti yang ada di kawasan Dieng dianggap sebagai bangunan historis paling awal yang ditemukan di Jawa. ”Peradaban Dieng” telah mengalami sivilisasi dan historisasi masif dan luas hingga membentuk ”mata air” peradaban Nusantara.

Ragam artefak dan prasasti itu menjadi bukti arkeologis hingga posisi Dieng dianggap sebagai ”poros peradaban” Jawa. ”Peradaban Dieng” diduga melahirkan wangsa-wangsa besar yang menguasai Jawa dalam bentuk kerajaan, yakni Wangsa Syailendra dan Sanjaya.

KH Abdurrahman Wahid (almarhum), di dalam pengantarnya berpendapat, pada abad ke-8 orang-orang Sriwijaya (Wangsa Syailendra) mendarat di Pelabuhan Lama Pekalongan, kemudian mendaki Gunung Dieng. Diduga, di daerah yang kini bernama Kabupaten Wonosobo itu mereka menemukan Kerajaan Kalingga. Mereka tak mengganggu orang-orang Kalingga, tetapi terus melanjutkan perjalanan ke arah tenggara hingga sampai di Muntilan, Magelang.

Di daerah inilah mereka mendirikan Candi Borobudur. Dan, sebagian dari mereka yang melanjutkan perjalanan ke selatan (Yogyakarta) mendirikan Kerajaan Kalingga Buddha hingga di abad selanjutnya membangun Candi Prambanan yang menyatukan agama Hindu dan Buddha (hal ix-x). Peta sejarah tersebut, ditafsirkan dalam buku ini, menunjukkan bahwa ”Peradaban Dieng” jalin-berjalin dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Demak yang menjadi semaian besar peradaban Jawa. Konklusinya, Dieng menjadi poros yang peranannya penting dalam terbentuknya peradaban Nusantara.

Meski semua bukti yang dibeberkan hendak membuktikan validitas sejarah di dalamnya, tetapi di sisi lain buku ini justru ”meragukan” kesahihannya sendiri. Sebagian sumber sejarah yang dinukil berlatar pada mitologi yang kepenuhan kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Misalnya mitologi Ajisaka yang masih diragukan fakta sejarahnya secara empirik.

Kiranya khazanah ”Peradaban Dieng” perlu dilacak makin detail dan dalam. Jika kebenaran-kebenaran di dalamnya tidak bisa dibuktikan secara komprehensif, buku ini akan dipandang hanya upaya elaborasi sejarah secara politis untuk mengatrol citra suatu komunitas tertentu.

Meski demikian, paling tidak buku ini merupakan ikhtiar untuk menjangkau hal-hal yang luput dari catatan-ingatan publik. Juga menyadarkan kita akan perlunya menggali identitas lokalitas, bahkan identitas kebangsaan, yang sampai kini belum tuntas.

Musyafak Timur Banua, Pegiat Komunitas Sastra Soeket Teki Semarang

Sumber: kompas.com

Sabtu, 19 Februari 2011

Puncak Suroloyo,(Negri para DEWA)

Negri Para Dewa... Surga para Pertapa..
Puncak Suroloyo yang merupakan salah satu Obyek wisata di Kabupaten Kulonprogo Provinsi DIY yang memiliki pesona keindahan segaligus wisata yang mengandung banyak mitos dan mistik. Puncak Suroloyo dianggap sebagai tempat tertinggi semasa jaman kerajaan Mataram. Para Dewa diyakini berada di Puncak tertinggi suatu tempat, sehingga Puncak Suroloyo direpresentasikan sebagai kediaman Para Dewa. Sebagian masyarakat Jawa percaya, jika ditarik lurus dari utara ke selatan, kemudian dari barat ke timur di atas pulau jawa, maka akan bertemu di Puncak Suroloyo. Orang Jawa menyebutnya dengan kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) tanah jawa.

Gunung sumbing dari view Puncak Suroloyo

Puncak Suroloyo merupakan bukit tertinggi di kawasan pegunungan Menoreh yang terletak di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewau yogyakarta. Tempat ini merupakan salah satu tujuan wisata yang memiliki pemandangan indah nan mempesona. Hal lain yang membuat tempat ini istimewa adalah jika cuaca cerah, biasanya pada pagi hari orang bisa memandang empat gunung besar di Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Dari tempat ini juga kemegahan Candi Borobudur yang berada di Magelang juga bisa dilihat dengan jelas.pesona puncak Suroloyo terletak di dusun Keceme, Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kulonprogo. Ada dua jalur untuk bisa mencapai tempat ini yakni jalan Godean – Sentolo – Kalibawang dan dari jalan Magelang – Pasar Muntilan – Kalibawang. Jalur menuju tempat ini cukup sulit karena penuh tanjakan dan berbelok-belok. Namun, udara pegunungan yang sejuk dan pemandangan alam yang luar biasa indahnya akan mengobati.

Sunrise di suroloyo

Menikmati Puncak Suroloyo sebaiknya dilakukan pada saat matahari terbit hingga di bawah pukul 10.00. Pada waktu-waktu tersebut keindahan akan lebih terlihat maksimal terlihat, terlebih jika langit dalam keadaan cerah. Untuk menikmati keindahan Puncak Suroloyo, pengunjung harus berjalan menanjak lebih dari 160 meter, dan melalui undakan anak tangga 286 buah dengan sudut kemiringan antara 30 -60 derajat. Dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan air laut, orang akan termanjakan dengan fasilitas dan tiga buah gardu pandang yang mempunyai nama sendiri-sendiri, yaitu Suroloyo, Sariloyo, dan Kaendran.

Puncak Suroloyo

Puncak Suroloyo

saat ini telah tampak bukti yang cukup serius dari Dinas Pariwisata Kabupaten Kulonprogo Untuk membenahi Kawasan Puncak Suroloyo yang membuat Puncak Suroloyo semakin terlihat cantik dan indah. Di Kawasan sekitar areal parkir sudah dibangun fasilitas penerangan dengan Tenaga Matahari, sehingga meski listrik PLN padam lampu penerangan tetap berfungsi dengan baik.

Fasilitas menarik lain adalah dibangunnya menara suar di kawasan puncak Suroloyo. Menara suar dilengkapi dengan lampu berkekuatan tinggi yang didesain bisa berotasi 360 derajat sehingga dapat dilihat dari jarak yang jauh dan menambah keindahan puncak suroloyo. Meski pada saat kunjungan ini lampu menara suar di Puncak Suroloyo belum beroperasi tetapi sudah terlihat anggun dan indah. Selain Lampu yang berotasi dilengkapi juga dengan lampu penerangan yang mengarah ke jalan naik Puncak Suroloyo.Banyak pengunjung yang sengaja menyempatkan diri mengunjungi Puncak surolooyo pada dini hari atau menginap untuk melihat keindahan Sunrise di pagi hari. Pada Sore hari tidak kalah banyak pula pengunjung yang datang untuk menanti Sunset dari Puncak Suroloyo. Dengan demikian pengunjung akan lebih nyaman berkunjung ke Puncak suroloyo Pada Malam Hari, atau pada saat gelap

Menara Suar Puncak Suroloyo

Menara Suar Puncak Suroloyo

Jalan Menuju Puncak Suroloyo

Jalan Menuju Puncak Suroloyo dilengkapi Lampu Penerangan

Selain Fasilitas penerangan pada puncak alam suroloyo, di sepanjang jalan naik ke puncak Suroloyo sudah dilengkapi pula dengan lampu penerangan yang cukup dan menambah keiindahan kawasan suroloyo. Beberapa sisi jalan naik yang rusak juga sudah diperbaiki walaupun masih ada yang masih rusak dan cukup berbahaya bagi pengunjung.

Puncak Sariloyo Dari Bawah

Puncak Sariloyo Sisi Lain Suroloyo

Fasilitas lain yang tidak kalah menarik berada pada puncak Sariloyo, Puncak Sariloyo merupakan sisi lain dari Suroloyo yang letaknya di sebelah Barat Puncak Suroloyo. Di area ini telah dibangun fasilitas Flying Fox yang bisa membangkitkan adrenalin kita. Bermain Flying Fox diantara tebing dan jurang yang cukup dalam di Puncak Suroloyo merupakan tantangan sekaligus memiliki keasyikan tersendiri. Pemandangan ke arah Puncak Suroloyo dari titik ini benar-benar luar biasa. Sangat indah dan mempesona. Selain ke arah puncak Suroloyo pemandangan indah juga dapat dilihat ke arah Samigaluh dan sekitarnya.

Lintasan Flying Fox dari Puncak Sariloyo

Lintasan Flying Fox Dilihat Dari Puncak Sariloyo

Dari sisi insfrastruktur jalan, pihak pemerintah daerah Kulonprogo juga mulai menambah lebar jalan yang menuju kawasan Puncak Suroloyo. Meski belum semua jalan diperlebar tetapi sudah cukup menunjukkan keseriusan Pemkab Kulonprogo menggarap Puncak Suroloyo. Memang sangat sayang jika potensi besar keindahan Suroloyo tidak digarap secara serius, tidak akan banyak orang yang datang dan menyaksikan keindahan Suroloyo. Dengan penambahan beberapa fasilitas dan perbaikan infrastruktur jalan menuju Puncak suroloyo, niscaya akan semakin ramai kawasan ini. Sukses untuk Pemkab Kulonprogo.

Puncak Suroloyo Dari Sariloyo Puncak Suroloyo Dilihat Dari Sariloyo Selamat berkunjung ....... Sumber :Tukangsapu.web.id, kab.kulonprogo.go.id

Selasa, 25 Januari 2011

Prasasti Ngrawan (Gn.Telomoyo)

Apa itu Prasasti Ngrawan?

ngrawan memiliki banyak makna. salah satunya dapat diartikan rawan. rawan dapat berarti rawan dari bencana tau rawan dari serangan kerjaan asing. jika dilihat kondisi geografinya, pas jika ngrawan berarti rawan karena lokasi itu terletak di kaki gunung telomoyo dan daerahnya juga terjal. penamaan sebuah prasasti bisa karena penemu, nama desa tersebut, informasi dari prasasati tersebut atau peristiwa. keberadaan prasasti ngrawan tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. hal ini diakibatkan karena lokasi yang sulit dijangkau karena akses jalan yang kurang memadai disamping dengan informasi mengenai prasasti ngrawan yang belum mengemuka dikalangan masyarakat sekitar daerah ngablak. namun yang pasti dalam prasasti hanya berisikan simbol-simbol mengenai dewa siwa. kemungkinan tempat ini digunakan sebagai pemujaan kepada dewa siwa. hal ini dapat dilihat dari benda-benda yang ada di sekitarnya seperti lingga yang belum sempurna pengerjaanya, disekitanya juga terdapat benda-benda yang mendukung bahwa daerah itu sebagai daerah pemujaan kepada dewa siwa.

Crop Circle Sleman apakah Jejak UFO

-

Diduga fenomena Crop Circle di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto:Natsir Kanthil

TEMPO Interaktif, Bandung -Kemunculan pola geometris dan simetris (crop circle) di area persawahan di Sleman, Yogyakarta, menggemparkan komunitas Benda Terbang Aneh (BETA) UFO (Unidentified Fying Object) di Indonesia. "Selama ini tidak pernah ada di Indonesia," kata Nur Agustinus, salah satu pendiri komunitas peminat kemunculan UFO itu saat dihubungi Tempo, Senin (24/1). Menurut Nur, sebelumnya pernah ada laporan serupa dari petani di Tuban, Jawa Timur, beberapa tahun lalu. Namun laporan itu sulit dibuktikan kebenarannya. "Yang baru bisa dilihat jelas sekarang ini," ujarnya. Komunitas yang beranggotakan sekitar 1.200 orang di Indonesia dan luar negeri itu yakin crop circle yang jejaknya ada di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu hasil buatan makhluk luar angkasa dengan pesawatnya. Membandingkan dengan pola geometris di luar negeri, bentuk crop circle di Sleman agak luar biasa. "Termasuk kompleks dengan ukuran sekitar 60 x 70 meter," katanya. Jejak UFo di Sleman itu, kata Nur, jadi perbincangan sesama anggota komunitas itu di Internet. Mereka membahas posisi bentuk geometris yang tampak pas sesuai arah mata angin. Empat lingkaran di dalam sebuah lingkaran besar, kata Nur, biasa disebut sebagai tetrat di kalangan peminat UFO. "Para ahli mengaitkannya dengan bumi, udara, air, dan api," katanya. Sejauh ini, komunitas Beta-UFO belum mengetahui makna bentuk crop circle di Sleman tersebut. Di luar negeri pun, kata dia, sejauh ini masih menjadi misteri walau crop circle mulai muncul pada era 70-an di Inggris. "Masih misteri karena bentuknya tidak pernah sama," ujarnya. sumber: tempo interaktif