Yāwadwîpa ini mula-mula diperintah oleh Raja Sanna, yang lama sekali memerintah dengan kebijaksanaan dan kehalusan budi. Setelah Raja Sanna wafat, pecahlah negaranya, kebingungan karena kehilangan perlindungan. Naiklah ke atas tahta kerajaan, Raja Saňjaya, anak Sannāhā (saudara perempuan Sanna), seorang raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan dalam keprajuritan. Ia menaklukkan berbagai daerah di sekitar kerajaannya dan menciptakan ketentraman serta kemakmuran yang dapat dinikmati oleh rakyatnya.
Sanna dan Saňjaya terkenal pula dari Carita Parahyangan, sebuah kitab dari zaman kemudian sekali yang terutama menguraikan sejarah Pasundan. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Sanna dikalahkan oleh Purbasora dari Galuh dan menyingkir ke Gunung Merapi. Tetapi, penggantinya, Saňjaya, kemudian menaklukkan Jawa Barat dan kemudian Jawa Timur serta Bali. Pun Malayu dan Keling (dengan rajanya Sang Çriwijaya) diperanginya. Dalam garis besarnya, cerita ini sesuai juga dengan Prasasti Canggal.
Mendirikan sebuah lingga secara khusus adalah lambang mendirikan suatu kerajaan. Bahwa Sanjaya memang dianggap sebagai Wamçakarta dari Kerajaan Matarām, dinyatakan juga dari prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya. Di antara prasasti-prasasti itu ada beberapa dari Balitung yang memuat silsilah, dan yang menjadi pangkal silsilah itu adalah Raka i Matarām Sang ratu Saňjaya. Bahkan ada pula prasasti-prasasti yang menggunakan tarikh Saňjaya! Dari kedua kenyataan ini dapatlah jelas betapa besarnya arti Saňjaya itu bagi raja-raja yang kerajaannya berpusat di Jawa Tengah sampai abad X M.
Adapun lingga yang didirikan oleh Saňjaya itu tempatnya ialah di Gunung Wukir di Desa Canggal. Di sini terdapat sisa-sisa sebuah candi induk dengan 3 candi perwara di depannya. Di dalam candi induk ini
tidak terdapatkan lingganya, yang ada ialah sebuah yoni besar sekali dan umumnya yoni itu merupakan landasan bagi sebuah lingga. Di halaman candi inilah Prasasti Canggal itu ditemukan.
Sayang sekali bahwa Candi Gunung Wukir ini yang masih tersisa sangat terlalu sedikit, sehingga tidak dapat diketahui bagaimana bentuk dan wujud yang sebenarnya dari hasil seni bangunan yang tertua itu.
Saňjayawamça dan Çailendrawamça
Kecuali Prasasti Canggal, tidak ada lagi prasasti lain dari Saňjaya. Pun dari keturunannya, sampai pertengahan abad IX M, tidak ada. Yang terdapat sesudah Saňjaya itu adalah prasasti-prasasti dari keluarga raja lain, yaitu Çailendrawamça. Rupa-rupanya keluarga Saňjaya itu terdesak oleh para Çailendra, tetapi masih juga mempunyai kekuasaan di sebagian Jawa Tengah. Bagaimana jalannya pergeseran kekuasaan itu tidak diketahui. Hanyalah nyata bahwa antara keluarga Saňjaya dan keluarga Çailendra ada kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu. Hal ini pertama kali nyata dari prasasti Kalasan.
Prasasti ini ditulis dengan huruf pra-nagari dalam bahasa Sanskrta dan berangka tahun 778 M. Isinya adalah bahwa para Guru sang raja “mustika keluarga Cailendra” (Çailendrawamçatilaka) telah berhasil membujuk Maharaja Tejahpūrņapaņa Paņangkaraņa (di tempat lain dalam prasasti ini disebut Kariyaņa Paņangkaraņa) untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi Tārā dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan keluarga Çailendra. Kemudian Paņangkaraņa itu menghadiahkan desa Kalāça kepada sanggha.
Bangunan yang didirikan ini adalah Candi Kalasan di Desa Kalasan di sebelah timur Yogyakarta. Candi ini sekarang kosong, tetapi memiliki singgasana serta bilik, sehingga arca Tārā yang dahulu bertahta
di sini tentunya besar sekali, dan sangat mungkin terbuat dari perunggu.
Tejahpūrņa Paņangkaraņa (diduga kuat) adalah Rakai Panangkaran, pengganti Saňjaya; seperti nyata dari prasasti Raja Balitung dari tahun 907 M. Prasasti ini bahkan memuat daftar lengkap dari raja-raja yang mendahului Balitung; bunyinya sebagai berikut: “rahyangta rumuhun ri mdang ri poh pitu, rakai matarām sang ratu Saňjaya, çrî mahārāja rakai Panangkaran, çrî mahārāja rakai Panunggalan, çri mahārāja rakai Warak, crî mahārāja rakai Garung, çrî mahārāja rakai Pikatan, çrî mahārāja rakai Kayuwangi, çri mahārāja rakai Watuhumalang”, dan kemudian nama raja yang memerintahkan pembuatan prasasti, yaitu çrî mahārāja rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahāçāmbhu.
Jelaslah bahwa pemerintahan Saňjayawamça berlangsung terus di samping pemerintahan Çailendrawamça. Keluarga Saňjaya beragama Hindu memuja Çiwa dan keluarga Çailendra beragama Buddha aliran Mahayana yang sudah condong ke Tantrayana. Menilik kenyataan bahwa candi-candi dari abad VIII dan IX M yang ada di Jawa Tengah Utara bersifat Hindu, sedangkan yang ada di Jawa Tengah Selatan bersifat Buddha maka daerah kekuasaan keluarga Saňjaya (
diduga kuat) ialah bagian utara Jawa Tengah dan daerah Çailendra adalah bagian selatan Jawa Tengah.
Pada pertengahan abad IX M, kedua wamca itu bersatu dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, raja puteri dari keluarga Cailendra. Demikianlah maka dapat dikatakan bahwa keluarga Cailendra itu memegang kekuasaan di Jawa Tengah selama kira-kira satu abad (± 750 – 850 M). Dalam masa pemerintahan ini banyak sekali bangunan suci yang didirikan untuk memuliakan agama Buddha. Sudah kita kenal Candi Kalasan untuk memuliakan Dewi Tara, menurut Prasasti Kalaca tahun 778 M. D
ari tahun 782 M ada prasasti lagi dari Kelurak (Prambanan) yang ditulis dengan huruf pra-nagari pula dan berbahasa Sanskrta. Isinya ialah mengenai pembuatan arca Manjucri yang dalam dirinya mengandung Triratna (Buddha, Dharma, dan Sanggha); yang sama pula (maknanya) dengan Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Mahecwara/Ciwa). Tampak benar sifat Tantrayana! Rajanya adalah Indra yang mungkin sekali bergelar Cri Sanggramadananjaya. Tidak ada kepastian bangunan suci mana yang didirikan untuk Manjucri itu; mungkin sekali sebuah candi Ciwa tidak jauh di sebelah utara Prambanan.
Salah seorang pengganti Indra adalah Samaratungga. Dalam tahun 824 M (Prasasti Karangtengah, dekat Temanggung) ia mendirikan bangunan suci Wenuwana; mungkin sekali Candi Ngawen di sebelah barat Muntilan. Tanah untuk bangunan suci dan sekitarnya dibebaskan dari pajak (menjadi perdikan) agar dengan demikian penghasilannya dapat diperuntukkan bagi pemeliharaan bangunan suci itu tadi. Janggalnya, sebagaimana di Kalasan, pemberian tanah itu dilakukan oleh seorang raja dari keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai Garung.
Samaratungga digantikan oleh anak perempuannya, Pramodawardhani, yang kawin dengan raja keluarga Sanjaya, Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Merteka berdua banyak pula mendirikan bangunan suci. Pramodhawardhani, yang kemudian bergelar Cri Kahulunnan, mendirikan bangunan-bangunan Buddha, dan Pikatan mendirikan bangunan-bangunan Hindu. Di Candi Plaosan yang bersifat Buddha banyak didapatkan pertulisan-pertulisan pendek, di antaranya nama-nama Cri Kahulunnan dan Rakai Pikatan. Sangatlah mungkin bahwa kelompok Candi Plaosan itu didirikan atas nama dan perintah Pramodawardhani itulah. Dalam dua buah prasasti dari tahun 842 M, Cri Kahulunnan meresmikan pemberian tanah dan sawah untuk menjamin berlangsungnya pemeliharaan Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan nenek moyang) di Bhumisambhara. Kamulan ini tidaklah lain daripada Borobudur, yang mungkin sekali sudah didirikan oleh Samaratungga dalam tahun 824 M. Hal ini dapat disimpulkan dari penyebutan bangunan Kamulan itu secara samar-samar dengan istilah keagamaan, dalam Prasasti Karangtengah.
Rakai Pikatan sendiri telah pula mendirikan berbagai bangunan suci agama Hindu. Mungkin sekali kelompok Loro Jonggrang di Prambanan berdirinya atas usahanya. Dalam sebuah prasasti dari tahun 856 M yang dikeluarkan oleh Dyah Lokapala atau rakai Kayuwangi, segera setelah rakai Pikatan turun tahta, terdapat uraian tentang kelompok candi agama Ciwa yang sesuai benar dengan keadaan kelompok Candi Loro Jonggrang atau Prambanan. Pun dalam kitab Ramayana, yang diperkirakan dihimpun dalam abad IX M, ada uraian serupa. Dan nama Pikatan memang terpahatkan juga, tergores dengan cat, pada salah satu candi di kelompok tersebut.
Balaputra Raja Criwijaya
Sebuah prasasti dari Nalanda (India), yang berasal dari tahun ± 860 M, menyebutkan hadiah tanah oleh Dewapaladewa (Raja Pala di Benggala) untuk keperluan sebuah biara yang didirikan oleh seorang maharaja di Suwarnadwipa bernama Balaputra. Dinyatakan pula bahwa Balaputra adalah anak dari Samaragrawira dan cucu dari raja Jawa yang menjadi “mustika keluarga Cailendra” bernama Cri Wirawairimathana.
Wirawairimathana adalah gelar yang serupa dengan gelar Raja Dharanindra dari Prasasti Kelurak, sedangkan Samaragrawira artinya sama dengan Samaratungga. Demikianlah maka Balaputra (diduga kuat) adalah adik Pramodawardhani, hanya dari lain ibu.
Dalam tahun 856 M, Balaputra berusaha merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, tetapi gagal. Ia lalu melarikan diri ke Suwarnadwipa dan di sana ia berhasil menaiki tahta Criwijaya. Rupanya tiada bedanya dengan Mataram zaman Panangkaran, Criwijaya juga telah terdesak oleh raja-raja Cailendra dan kmeudian berlangsung terus sebagai negara bagian. Dengan demikian maka Balaputra memang mempunyai hak juga atas tahta Criwijaya. Penjelasan silsialahnya pada Prasasti Nalanda tentunya dimaksudkan sebagai pengesahan tindakannya untuk melangsungkan kekuasaan kelaurga Cailendra, baik di Criwijaya maupun di Jawa Tengah, tempat kini kekuasaan telah beralih ke tangan keluarga Sanjaya.
Soal agama dipakai juga oleh Balaputra untuk memperkuat kedudukannya di Criwijaya dalam menghadapi Mataram yang beragama Ciwa. Maka segera setelah ia berkuasa, ia mencari persahabatan dengan kerajaan agama Buddha yang kuat. Kerajaan ini ia dapati di India, tempat keluarga Raja Pala berkuasa di Benggala. Inilah sebabnya mengapa ia mengusahakan adanya sebuah biara di Nalanda, yang diperuntukkan bagi para jemaah agama Buddha dari Criwijaya.
Keluarga Sanjaya Berkuasa Penuh Lagi
Dalam tahun 856 M, Rakai Pikatan turun tahta, setelah berhasil menghapus kekuasaan keluarga Cailendra di Jawa. Pun kemungkinan timbulnya kembali keluarga ini telah ia cegah, yaitu dengan menggempur Balaputra; yang dari prasasti tahun 856 itu dapat disimpulkan bertahan di bukit Ratu Boko.
Penggantinya, Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi, ternyata menghadapi berbagai kesulitan yang dialami oleh rakyat Mataram. Kekuasaan Cailendra di jawa Tengah selama tiga perempat abad banyak menghasilkan bangunan suci yang serba megah dan mewah, tetapi sebaliknya sangat melemahkan tenaga rakyat dan penghasilan pertanian. Usaha mengutamakan kebesaran raja kini terasa akibatknya yang menekan penghidupan rakyat.
RakaiKayuwangi memerintah dari 856 sampai 886M, dan dalam prasasti-prasastinya ia menggunakan sebuatan Cri Maharaja dan gelar abhiseka (penobatan raja) Cri Sajjanotsawatungga. Sebutan pertama menunjukkan kebesaran sang raja yang kini menjadi penguasa satu-satunya. Sementara, akhiran “tungga” (= puncak, ujung) dalam nama abhisekanya _ kebiasaan yang hanya dipakai oleh raja Cailendra _ menunjukkan bahwa sang raja berdarah Cailendra pula.Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang yang memerintah dari tahun 886 – 898 M.
Kemudian menyusullah Raja Balitung (Rakai Watukura) yang bergelarCri Icwarakecawotsawatungga, yang memerintah dari tahun 898 sampai 910 M. Prasasti-prasastinya terdapatkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga dapat disimpulkan ia adalah raja yang pertama yang memerintah kedua bagian pulau Jawa itu. Mungkin sekali kerajaan di Jawa Timur (Kanjuruhan _ Prasasti Dinoyo) telah ia taklukkan, mengingat bahwa di dalam pemerintahan Jawa tengah ada sebuatan Rakaryan Kanuruhan, yaitu salah satu jabatan tinggi langsung di bawah raja. Memang prasasti-prasasti Balitung dari tahun 898 sampai 907 M semuanya didapatkan di Jawa timur, dan salah satu di antaranya menyebutkan serangan ke Bantan (= Bali).
Salah satu prasastinya yang menarik perhatian adalah yang ia keluarkan dalam tahun 907, yait yang memuat silsilahnya sejak Sanjaya. Sementara, mereka-mereka yang memerintah terlebih dahulu itu ia mintai perlindungan.
Raja-raja sesudah Balitung adalah Daksa, yang dalam pemerintahan Balitung telah menjabat Rakryan Mahamantri i Hino (kedudukan tertinggi di bawah raja), dan menjadi raja da
ri 910 hingga 919 M. Lalu, Tulodong dengan gelarnya Rakai Layang Dyah Tulodong Cri Sajanasanmatanuragatunggadewa, dari tahun 919 – 924 M. Kemudian Wawa, dengan gelar Cri Wijayalokanamottungga, dari tahun 924-929 M.
Sejak tahun 929 M, prasasti hanya didapatkan di Jawa Timur dan yang memerintah adalah seorang raja dari keluarga lain, yaitu Siņdok dari Içanawamça. Dengan ini maka habislah riwayat Saňjayawamça, dan juga Jawa Tengah sebagai pusat pemerintahan. Mungkin sekali perpindahan kekuasaan dari keluarga Saňjaya kepada keluarga Içana berlangsung secara damai (perkawinan), tetapi apa sebabnya pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa timur tidak dapat diketahui. Ada pendapat bahwa hal ini terjadi karena ancaman-ancaman dari Çriwijaya atau bencana dahsyat.
sumber :Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Hlm. 39 – 49.
Adapun dimungkinkan jaman mataram kuno telah tatanan kehidupan masyarakat sudah sangat maju dan pesat, hal ini dibuktikan dengan peninggalan candi-candi yang tersebar luas dari wilayah jawa tengah -jogja-jawa timur sehingga memungkinkan perpindahan ibukota kerajaan sampai 7
kali :
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)" sekitar jogja-muntilan-sleman"
- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) " sekitar prambanan"
- Medang i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung) " Kedu-temanggung"
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)" sekitar jogja-muntilan-sleman"
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)' Antara magetan-mediun"
- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)"sekitar jombang"
- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
1 komentar:
pelajaran sejarah bener ya mas :)
Posting Komentar